Bandar Lampung.IR – Proyek rehabilitasi gedung dan tempat penitipan anak (TPA) yang dikerjakan oleh Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Provinsi Lampung kini menjadi sorotan tajam.
Nilai proyek mencapai Rp990 juta dan dikerjakan oleh CV Krakatoa Muda Mandiri, namun kualitas bangunan yang dihasilkan justru menuai kecurigaan.
Pantauan di lapangan dan informasi dari sumber terpercaya mengindikasikan adanya dugaan ketidaksesuaian spesifikasi teknis serta penggunaan material di bawah standar.
Proyek yang berlangsung selama 75 hari kalender pada tahun anggaran 2024 itu tampak rapi dari luar, namun menyimpan potensi masalah serius pada struktur bangunannya.
“Secara kasat mata memang terlihat berdiri kokoh, tapi saya tahu persis seperti apa kondisi di dalamnya. Material yang digunakan tidak sesuai standar. Itu proyek hanya bagus di permukaan, padahal struktur bangunannya rapuh,” ujar salah satu sumber terpercaya kepada wartawan, Selasa (10/6/2025).
Sumber yang enggan disebutkan namanya itu juga menjelaskan adanya pelanggaran dalam penggunaan material struktural seperti tulangan besi.
“Untuk tulang tembok seharusnya digunakan besi 12 milimeter, tapi yang dipasang justru besi 10. Bahkan ada beberapa bagian yang hanya menggunakan campuran besi 2K3, yang kualitasnya sangat rendah. Ini jelas tidak sesuai perencanaan dan membahayakan,” tegasnya.
Lebih mengkhawatirkan lagi, proyek yang semestinya menjadi ruang aman bagi anak-anak ini justru diduga hanya menjadi kedok penyerap anggaran, dengan kualitas pengerjaan yang tidak sebanding dengan nilai kontrak.
Diketahui, perusahaan pelaksana proyek tersebut berasal dari Kabupaten Pesawaran, yang semakin menambah daftar pertanyaan publik mengenai proses pengadaan dan keterlibatan pihak-pihak tertentu di balik layar.
“Ada pola lama yang dimainkan di proyek ini. Perusahaan dipilih bukan karena kompetensi, tapi karena kedekatan. Kalau terus begini, maka inilah wajah asli birokrasi proyek di Lampung,” ujar seorang tokoh masyarakat Lampung yang turut mengamati proses pengerjaan proyek.
Ia juga mendesak aparat penegak hukum dan lembaga pengawas pemerintah untuk segera turun tangan dan melakukan audit teknis serta administrasi secara menyeluruh.
“Kalau ini dibiarkan, akan jadi tradisi. Proyek-proyek seperti ini rawan jadi ladang korupsi terselubung. Pemerintah Provinsi Lampung harus tegas dan tidak tutup mata. Tangkap pelakunya sebelum budaya ini menjamur,” serunya lantang.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) Provinsi Lampung, Thomas Edwin Ali Hutagalung, ST, SE, MM, memilih bungkam saat dikonfirmasi. Upaya konfirmasi yang dilakukan melalui pesan singkat maupun panggilan telepon tidak mendapat respons.
Sikap diam ini semakin memperkuat kecurigaan publik bahwa ada yang tidak beres dalam pelaksanaan proyek tersebut. Ketika pejabat publik enggan menjawab pertanyaan yang menyangkut kepentingan masyarakat, maka transparansi dan akuntabilitas menjadi hal yang patut dipertanyakan.
Kini, mata publik tertuju pada proyek senilai hampir satu miliar rupiah ini. Apakah hanya akan berakhir sebagai cerita klasik penyalahgunaan anggaran, atau menjadi awal pembenahan sistem pengadaan yang lebih bersih dan profesional di lingkungan Pemerintah Provinsi Lampung?
Waktu yang akan menjawab. Tapi publik menuntut jawaban sekarang.(Mp)